Ada yang bertumpah ruah di balik kedua kening itu. Juri memerhatikannya: bagaimana garis-garis halus di kulit dahi gadis tersebut merapat, bagaimana bintik-bintik kecil hadir di balik sisiran rambutnya, dan segala hal-hal kecil lainnya. Seantero negeri ini boleh memanggil gadis itu Putri, tetapi di mata Juri, dia adalah merpati kecilnya.
Yang mendamba langit biru,
Yang tidak berhenti mengusahakan kebebasan.
Jika kau mengasosiasikan ‘ramah’ pada figurnya, maka itu adalah sebuah tindakan meremehkan. Juri bisa menjamin kalau kebaikan dan kelapangan hati sang Putri adalah yang terbaik di seluruh muka bumi. Tidak kurang, tidak cacat. Menjadi Panglima Perang membuat Juri memiliki banyak kesempatan untuk mengamatinya.
Dari balik jendela kastil itu, sang Putri biasa melambai kepadanya. Sayang, tangan Juri biasanya dikuasai pedang. Percayalah dia senantiasa berusaha membalasnya dengan senyuman lebar. Selalu. Tanpa absen. Dan ia harap: tanpa cela pula.
Ini perasaan yang asing. Awalnya, Juri pikir akan pergi sendiri. Namun, perkara membolak-balikkan hati, siapa yang punya kendali?
**
Yang keji adalah takdir—melahirkannya sebagai seorang Putri.
Yuko tidak akan pernah terbiasa dengan tundukan hormat dan puja-puji dari rakyatnya. Aneh, padahal dia juga manusia. Sama saja seperti mereka, bukan? Ayahnya selalu bilang kebebasan adalah hal yang diutamakan pada kepemimpinannya—tetapi dengan semua penuhanan yang dianut setengah bangsanya begini, apalah arti kebebasan itu?
Awalnya Yuko yakin akan sulit untuk mengubah cara pandang rakyatnya yang sudah kepalang dicuci otak selama ratusan tahun. Akan tetapi, pertemuannya dengan Panglima Muda beberapa tahun lalu membuat keoptimisannya kembali.
“Penghuni tahta selanjutnya jatuh dari pohon beringin? Oh! Lihatlah kedua kaki yang fasih menggelantung itu. Memangnya di kastil ada yang seperti ini?”
Sarkastik. Iseng. Semua ajektiva yang Yuko kenal sebagai padanan kata ‘main-main’ ia alamatkan pada sosok itu. Panglima Muda Juri, begitu orang-orang memanggilnya. Akan tetapi, di mata Yuko, dia adalah ranting zaitunnya.
Dulu, mereka masih bisa bertukar nalar di bawah beringin tersebut. Tanpa diselimuti ragu, nihil rasa malu. Sayang, ketika waktu bergulung, ada sesuatu yang membuat rasa di hati mereka terdampar: sematan Panglima Muda kini berganti menjadi Panglima Perang. Kerajaan sedang tidak baik-baik saja, begitu juga permainan mata mereka.
Kini, percakapan mereka hanya bisa dilakukan dari jendela kastil yang lebih seperti penjara. Satu lambaian tangan dan satu senyuman lebar. Yuko rasa, ternyata kebebasan datang dari waktu-waktu yang sudah kadaluwarsa.
**
Semua orang akan selalu mendamba untuk menghadap ulang ke masa lalu, ‘kan?
Setidaknya, dengan pikiran tersebut, sang Putri dan Panglima Perang memegang erat cerita tentang pertukaran napas mereka di bawah beringin tersebut jauh di balik kelopak matanya. Sambil berharap matahari akan terus menyingsing, mereka akan berusaha dengan hebat untuk melanjutkan hidup, demi mendapatkan usaha lebih dari sebuah kebebasan di balik jendela kastil bagi kisah mereka.